Senin, 25 Oktober 2010

Partai Politik di Indonesia

Indonesia menganut sistem kepertaian dengan sistem multi partai, sejak reformasi 1998  Indonesia menganut sistem multi partai. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan partai politik di Indonesia adalah melakukan penaksiran (assessment) terhadap tingkat pelembagaan yang telah berlangsung dalam suatu partai politik Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik ialah proses pemantapan partai politik baik dalam wujud perilaku yang memola maupun dalam sikap atau budaya (the process by which the party becomes established in terms of both of integrated patterns of behavior and of attitude or culture). Proses pelembagaan ini mengandung dua aspek, aspek internal-eksternal, dan aspek struktural-kultural. Bila kedua dimensi ini dipersilangkan, maka akan tampak sebuah tabel empat sel, yaitu (1) derajat kesisteman (systemness) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural, (2) derajat identitas nilai (value infusion) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural, (3) derajat otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan struktural, dan (4) derajat pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik sebagai persilangan aspek eksternal dengan kultural (Vicky Randall dan Lars Svasand, dalam Party Politics, Vol 8 Januari No 1 Tahun 2002).
Dengan mudanya usia partao politik di Indonesia terlebih partai politik yang berdiri sesudah reformasi 1998, menurut Ramlan Surbakti, Partai politik di Indonesia setidak-tidaknya mengandung tiga kelemahan utama, yaitu (1) ideologi partai yang tidak operasional sehingga tidak saja sukar mengidentifikasi pola dan arah kebijakan publik yang diperjuangkannya tetapi juga sukar membedakan partai yang satu dengan partai lain; (2) secara internal organisasi partai kurang dikelola secara demokratis sehingga partai politik lebih sebagai organisasi pengurus yang bertikai daripada suatu organisme yang hidup sebagai gerakan anggota; (3) secara eksternal kurang memiliki pola pertanggungjawaban yang jelas kepada publik. (Ramlan Surbakti, Perkembangan Parpol di Indonesia).
Kedepan wacana partai politik yang mengemuka adalah penyederhanaan partai politik di pemilu 2009, bahwa jumlah partai politik terlalu banyak, akibatnya pelaksanaan pemerintahan rumit. Terlalu banyak kepentingan yang harus dinegosiasikan antara DPR dan pemerintah. Karena itu muncul gagasan untuk menyederhanakan sistem kepartaian menjadi sistem multipartai yang lebih sederhana.
Electoral Threshold
Dalam demokrasi di mana pun biasa terjadi ketegangan antara keinginan untuk memaksimalkan representasi aspirasi warga yang beragam dan keinginan menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif. Ketegangan ini tidak mudah diatasi. Sulit membangun sistem kepartaian yang sederhana sekaligus representatif secara maksimal dalam masyarakat yang heterogen seperti Indonesia. Pasti ada yang harus dikurangi: efektivitas dan efisiensi pemerintahan atau representasi kepentingan warga di DPR.
Tarik-menarik antara representasi dan efektivitas ini terlihat dalam Rancangan Undang-undang Politik yang baru. Secara eksplisit dinyatakan perubahan sistem kepartaian dilakukan untuk mendukung perwujudan multipartai sederhana (penyederhanaan). Tapi bersamaan dengan itu dinyatakan pula perubahan itu dilakukan dengan tetap menghormati keberagaman bangsa Indonesia (representasi).
Namun semangat penyederhanaan sistem kepartaian terlihat lebih nyata. Diusulkan agar electoral threshold atau ambang batas minimal perolehan suara partai dalam Pemilu 2009 dinaikkan dari tiga menjadi lima persen. Bila usul ini disetujui, partai-partai yang mendapat suara di bawah lima persen dalam Pemilu 2009 tidak bisa ikut dalam Pemilu 2014. Apakah peningkatan electoral threshold ini akan mengurangi jumlah partai yang punya suara efektif di DPR?
Sistem Pluralitas Sederhana
Alternatif lain untuk penyederhanaan sistem kepartaian adalah mengubah sistem proportional representation (PR) seperti yang dianut Indonesia sekarang menjadi sistem pluralitas – secara kurang tepat sering disebut dengan sistem distrik. Di negara-negara demokrasi, sistem pluralitas dari varian first past the post (FPTP) atau pluralitas sederahana dan varian block vote cukup membantu menyederhanakan sistem kepartaian dibandingkan sistem PR dengan segala variannya.
Dalam varian sederhana (FPTP dalam single member district) dari sistem pluralitas, jatah kursi yang diperebutkan di satu daerah pemilihan hanya satu, karena itu hanya ada satu calon yang menang di daerah tersebut. Calon-calon lain, dari partai yang sama maupun yang berbeda, tidak akan punya kursi di DPR dari daerah pemilihan tersebut. Hasil akhirnya, menurut studi empiris, secara umum sistem ini cenderung menghasilkan dua hingga tiga partai saja yang punya kursi efektif di DPR.
Demikian juga kalau varian block vote partai dari sistem pluralitas yang diterapkan. Partai yang mendapat suara paling banyak mengambil semua kursi yang diperebutkan di daerah pemilihan itu. Akibatnya, hanya sedikit partai yang punya wakil dalam jumlah efektif di DPR. Dengan demikian penyederhanaan sistem kepartaian bisa terjadi.
Sama seperti usul untuk menaikkan electoral threshold menjadi sepuluh persen, perubahan sistem PR menjadi sistem pluralitas kemungkinan besar akan mendapat perlawanan dari partai-partai yang mendapat suara sedikit di banyak daerah pemilihan. Kalau sistem pluralitas diterapkan dengan memekarkan jumlah daerah pemilihan ataupun tidak, dan kalau menggunakan data Pemilu 2004, maka kemungkinan ada partai politik yang mendapat jumlah kursi mayoritas di DPR. Ini akan melahirkan sistem kepartaian sederhana, bahkan amat sederhana.
Dengan sistem pluralitas dengan dua varian itu, bila data Pemilu 2004 dipakai, kemungkinan partai yang punya wakil di DPR dengan jumlah efektif adalah Partai Golkar dan PDI Perjuangan. PKB mungkin masih punya kursi meskipun tidak banyak, karena dalam Pemilu 2004 cukup banyak calon PKB yang mendapat suara terbanyak di sejumlah daerah pemilihan di Jawa Timur. PKS punya wakil di DPR dari daerah pemilihan di Jakarta dan Jawa Barat. Partai lain seperti Demokrat, PPP, dan PAN, apalagi partai lain yang lebih kecil, kemungkinan akan hilang karena tidak mendapat suara paling banyak di satu pun daerah dalam Pemilu 2004.Seandainya daerah pemilihan dimekarkan untuk mengakomodasi prinsip single member district dari sistem pluralitas sehingga jumlah daerah sebanyak jumlah anggota DPR, cerita Pemilu 2004 sedikit berbeda. Kalau dianggap tidak banyak perubahan perilaku pemilih, PPP dan PAN serta Demokrat kemungkinan masih akan mendapat kursi meskipun sedikit, dan karenanya tidak efektif.

0 komentar:

Posting Komentar